Kami Tunggu Ibu di Api

Cerpen76 Dilihat

JEJAKJURNALISTONLINE.COM – Aku lapar. Tapi dua dedeku nangis terus. Aku nggak tahu mengapa? Mungkin mereka juga lapar. Padahal aku udah kasih biskuit terakhir kemarin.

Rumah ini gelap dan gordennya bau. Di luar ada bunyi ramai, tapi nggak ada satu pun yang buka pintu. Ibu bilang jangan buka pintu ke siapa-siapa. Tapi Ibu juga nggak pulang-pulang. Katanya ketempat Om Han.

“Pulang nanti, ibu bawakan es krim ya” seingatku begitu kata ibu. Tapi ini telah lewat magrib.

Aku melanjutkan main cilukba dengan Dede Jojo dan Dede Awa. Mereka duduk masih rewel di ember kosong. Sesekali ku dorong dan ku tarik. Seperti biasa aku berperan jadi ibu. Aku ucapkan “Sabar ya? ibu pulang kok sebentar lagi”.

Mendadak dua adikku itu girang berjingkrak lalu memelukku.

Bau hangus kemudian tercium masuk dari bawah pintu dapur. Seperti bau baju Ibu waktu nyetrika. Tapi ini lebih pekat. Sekejab udara memanas. Dede Jojo dan Awa mulai batuk. Aku peluk keduanya. Aku bilang, “Nggak papa, nanti Ibu pulang.” Tapi mataku panas. Tuhan, langit-langit rumah kami telah mengabut.

Aku beranjak. Berlari ke pintu utama. Aku mau panggil Ibu. Namun suaraku kecil. Lebih kecil dari api.

Aku genggam tangan Dede Jojo. Dia tambah batuk dan terus gigit jari. Aku berkata, “Kita main tangkapan saja yuk, tapi harus jalan pelan-pelan.” Aku dan mereka masih tertawa. Namun sungguh dadaku deg-degan. Dalam ruang yang mulai pekat ini aku bingung. Ada ketidakstabilan antara pikiran dan prilaku. Apa karena aku yang masih 3 tahun ini? Entahlah.

Sekarang kami berjalan merangkak. Aku duluan. Dede Jojo dan Awa di belakangku. Mengekor bagai kereta. Ku rasakan karpet basah. Mungkin Dede Awa pipis. Dia usik dan ku tenangkan, “Ssst. nanti ibu denger, kita harus diem”.

 

Prang!!

 

Tiba-tiba kaca meletus. Suaranya kayak balon besar pecah. Dede Jojo bilang, “Bunyi kembang api?”

Aku jawab, “Iya kayak tahun baru.”

Tapi aku tahu ini bukan tahun baru. Ini tahun hangus. Ini rumah terbakar. Ini neraka dari tumpahan lilin atau kabel. Tapi aku nggak tahu kata-kata itu. Yang aku tahu cuma satu, panas itu bukan teman.

Aku minta adik-adikku ke bawah meja. Meja ini sempet jadi penginapan waktu kita bermain. Sekarang, ini menjadi gua. Tapi gua yang panas. Napasku susah. Dede Jojo melipat lututnya. Dia ketakutan lalu berujar “Kakak.. Kakak. Ibu marah lagi ya sama kita?”

Aku berbohong “Enggak.”

Aku tahu dari ibu bahwa bohong itu dosa. Namun bohong itu bisa membuat Dede tenang juga.

“Ibu sayang kok. Ibu beli es krim jauh. Mungkin macet saat kesini dengan Om Han.”

Dede bungsuku, Awa tersandar dengan mata basah.

“Peyihhh” ujarnya cedal.

Napasnya tak beraturan. Aku memegang tangannya. Tangan bayi lembut seperti roti lalu berangsur dingin.

Asap sudah masuk ke kerongkonganku. Aku batuk hebat. Rasanya seperti telan debu. Mendadak aku ingin tidur. Tapi kalau aku tidur, siapa yang menjaga Jojo dan Awa?

Dari jendela aku melihat warna merah. Seperti mulut naga yang berkobar saat Ibu marah.

Aku bisik, “Ibu, aku masih jagain dede sesuai pesanmu. Tapi ibu jangan lama-lama. Aku nggak kuat lagi.”

Pintu kemudian digedor. Suara-suara orang dewasa. Tapi bukan suara Ibu. Aku semakin takut. Tapi aku juga pengen keluar. Api itu menyambari kami. Sekejap aku memekik.

“Tolong..Tolong..Kami di sini. Aku dan dede. Kami belum makan.”

Tapi suara aku hilang dileleh api. Mungkin juga dicuri asap. Aku peluk erat keduanya. Mereka diam. Aku goyangin bahu mereka. “Jojo? Awa?” Mereka pucat sambil mendengus. Mata Dede Jojo sedikit terbuka. Ku amati dia mirip boneka yang udah usang.

“Ibuu…Panass..Sakit!!”

Aku menjerit menangis kesakitan. Pekikanku kemudian disambut tangan-tangan asing. Tangan itu menarikku dari bawah meja. Badanku melayang. Aku lihat Dede Jojo dan Awa terkulai di atas tangan-tangan lainnya. Mungkin kelelahan bermain hingga mereka ketiduran. Dari kobaran yang mengelupasi kulit wajahku, aku saksikan rumah kami mulai diselimuti warna merah naga.

“Dede Jojo dan Awa, lihat naga itu makan rumah kita!” kataku yang melihat mereka dibopong. Keduanya pasi tak bergerak. Dibopong kayak bantal.

Sekarang aku berada di dalam mobil besar yang banyak lampunya. Semakin banyak suara orang di sini. Namun tak terdengar suara ibu. Aku mencari Ibu dengan menempelkan wajahku ke kaca mobil. Tak ada juga ku lihat. Aku lalu bertanya kepada seorang asing berpakaian putih, “Ibuku mana?”

“Dede cantik, ibumu bentar lagi sampai ke sini kok. Tahan sedikit ya” kata orang itu sambil mengolesi tubuhku dengan cairan dingin. Aku meringis perih.

Orang itu lalu berikan aku selimut lembut. Namun aku tetap ingin pelukan lembut ibu.

Aku duduk. Orang itu kemudian memberikanku boneka beruang.

“Mery??” kataku terkejut.

Aku heran dengan keberadaanya. Aku peluk boneka kesayanganku itu meski bentuknya sekarang gosong. Kedua mata boneka itu juga hilang.

Dari kaca mobil aku melihat langit yang kian merah. Aku bisik ke Mery, “Kalau kamu jadi ibu, apakah akan marah melihat rumahnya kebakar gini?”

Ibu aku minta maaf. Gara-gara kami yang gak nurut pesanmu. Ibu jangan marah. Aku ingin senyuman seperti saat ibu sambut Om Han lusa lalu. Aku mohon ya bu, harapanku.

Tapi ibu pasti marah besar. Ini bukan hal kecil. Jika cubitan itu kami rasakan dari sikap yang mecahin benda, ini lebih kacau lagi. Aku sekarang tau bu. Kau benar. Seperti kata ibu yang sering kami dengar, kami gangguan. Nyatanya dunia juga bilang begitu. Semua itu wajar! Aduh bodohnya.

“Kalau kamu? Marah tidak Mery?”

Sambil Aku cabuti beludrunya yang setengah hangus.

“Tentu kamu tak marah, bukan? Kamu beda dengan ibu. Kamu itu buta! Ibu tidak”.(Heri/jj).

banner 470x250 ............................................................................ banner 470x250 ............................................................................ banner 470x250 ............................................................................ banner 470x250 ............................................................................ banner 470x250 ............................................................................ banner 470x250 ............................................................................banner 470x250 ............................................................................ banner 470x250 ............................................................................ banner 470x250 ............................................................................ banner 470x250 banner 470x250 . banner 470x250 . banner 470x250 . banner 470x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *